Kamis, 25 Februari 2016

Wa Kaa Kaa sebagai Simbol Emansipasi Wanita Dunia

Masjid Agung Wolio


Dalam beberapa kisah klasik Islam yang hingga saat ini masih terpelihara, kita tentunya pernah mendengarkan bahwa lahirnya Hawa merupakan sebuah hasil permohonan Nabi Adam As karena cemburu melihat beberapa makhluk yang hidup berpasang-pasangan. Kedua insan tersebut melewati berbagai proses Tuhan baik suka maupun duka dengan saling melengkapi antar satu sama lain. Namun seiring berjalannya waktu, maka otoriterpun muncul dari salah satunya (laki-laki) hingga membuat yang satu (perempuan) menjadi tidak ternilai atau bahkan terkadang dianggap sebagai pembawa bencana bagi yang lain dan posisinyapun semakin didiskreditkan.

Deklarasi Hak-hak Azazi Manusia (HAM) PBB (1948) menandasi awal mulainya perjuangan kaum perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Perjuangan kesetaraan dan keadilan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia hingga tahun 1957 diadakan sidang umum PBB untuk pertama kalinya, mengeluarkan sebuah resolusi tentang partisipasi perempuan dalam pembangunan, yang disusul dengan resolusi tahun 1963  yang secara khusus mengakui  peranan perempuan dalam pembangunan sosial ekonomi nasional. Perjuangan perempuan muncul dari adanya kesadaran perempuan akan ketertinggalannya dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Untuk mengejar ketertinggalannya tersebut telah dikembangkan konsep emansipasi (kesamaan) antara perempuan dan laki-laki yang diawali dengan timbulnya gerakan global yang dipelopori oleh perempuan dan berhasil mendeklarasikan melalui badan ekonomi sosial PBB (ECOSOC) yang diakomodasi Pemerintah Indonesia dengan dibentuknya Komite Nasional Kedudukan Wanita Indonesia (KNKWI).

Selanjutnya di Mexico City (1975) diselenggarakan Konferensi Dunia yang Pertama tentang Perempuan World Conference International Year of Women oleh PBB dan diperkenalkan tema perempuan dalam pembangunan (WID). Tahun 1975 dinyatakan oleh PBB sebagai tahun internasional perempuan. Dapat dikatakan bahwa konferensi dunia I merupakan langkah awal dari consensus internasional mengenai hak-hak perempuan.

Diperoleh gambaran bahwa di negara manapun status perempuan lebih rendah dari pada laki-laki dan terbelakang dalam berbagai aspek kehidupan baik sebagai pelaku maupun penikmat hasil pembangunan. Untuk meningkatkan status dan kualitas perempuan telah dilakukan berbagai program dan kegiatan pemberdayaan perempuan, namun hasilnya masih belum memadai. Kesempatan kerja perempuan belum membaik, beban kerja masih berat, dan pendidikan masih rendah. Dari keadaan tersebut lahir pemikiran bahwa hubungan/relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki didalam dan diluar keluarga perlu dirubah. Artinya, diperlukan serangkaian perubahan struktural yaitu perubahan relasi sosial dari yang timpang kerelasi sosial yang setara dimana keduanya merupakan faktor penting dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan keluarga dan selanjutnya PBB membentuk satu badan yang disebut The United Nations Fund for Women (UNIFEM) untuk melakukan studi, advokasi, kolaborasi dan mendanai kegiatan kesetaraan gender.

María Estela Martínez Cartas de Perón (lahir 4 Februari 1931), lebih dikenal sebagai Isabel Martínez de Perón atau Isabel Perón, adalah mantan Presiden Argentina. Isabel menjabat sebagai presiden dari 1 Juli 1974 sampai 24 Maret 1976. Dia adalah Kepala negara perempuan pertama dan kepala pemerintahan di dunia. Ia juga tercatat sebagai seorang aktivis perempuan yang berjuang untuk mendesak PBB agar membentuk The United Nations Fund for Women (UNIFEM) pada tahun 1975.

Di Indonesia, ada seorang perempuan yang bernama R.A Kartini. Semasa hidupnya ini mampu memberikan arti dan spirit tersendiri dalam perjuangan meraih persamaan dan kesetaraan gender atau disebut juga emansipasi. Siapa yang tidak kenal dengan R.A Kartini. Wanita kelahiran 21 April 1879 ini merupakan perintis perubahan bagi kaum wanita. Ia lahir dari keluarga bangsawan yang berpikiran maju dan sosoknya yang cekatan, lincah, pintar, suka belajar dan haus akan ilmu pengetahuan. Saat usia 7 tahun, ia bersekolah di Sekolah Kelas Dua Belanda. Selain belajar di sekolah, ia juga kerap memperoleh pelajaran Bahasa Jawa, memasak, menjahit, mengurus Rumah Tangga dan pelajaran agama di rumahnya. Keluarganya sangat mengedepankan pendidikan. Sebagai seorang gadis kecil yang lincah ia hanya berpikir mengenai sekolah dan bermain. Hingga suatu hari seorang teman Belanda-nya bertanya mengenai cita-cita Kartini setelah tamat sekolah. Ia mulai memikirkan jawaban dari pertanyaan tersebut sampai akhirnya ia memikirkan untuk mengubah nasib kaum wanita di kemudian hari. Usia 12 tahun, setelah tamat sekolah dasar, Kartini menjalani masa pingitan. Hidupnya berubah, ia kesepian dan tidak boleh melanjutkan pendidikan. Hidupnya ibarat burung dalam sangkar emas. Keluarganya yang memegang teguh adat lama, tidak menyetujui keinginan Kartini yang menghendaki perubahan. Kartini hanya bisa mencurahkan cita-cita perjuangannya dalam bentuk surat. Ia rajin menulis surat kepada temantemannya di Belanda. Isinya mengandung cita-cita yang luhur, terutama untuk mengangkat derajat wanita Indonesia. Berkat surat-surat ini, tahun 1903 didirikan Sekolah Kartini Pertama di Semarang. Dan di usia 25 tahun, R.A Kartini akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Dampak dari emansipasi wanita baru juga nampak kembali pada munculnya Dr.(H.C.) Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri atau umumnya lebih dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri atau biasa disapa dengan panggilan "Mbak Mega". Ia lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947 dan merupakan Presiden Indonesia yang kelima yang menjabat sejak 23 Juli 2001 — 20 Oktober 2004. Ia merupakan presiden wanita Indonesia pertama.

Jika dunia mulai memperhatikan kesetaraan gender pada tahun 1975 ditandai dengan berdirinya The United Nations Fund for Women (UNIFEM) dan di Indonesia pada tahun 1903 ditandai dengan berdirinya sekolah Kartini di Semarang, maka di Buton jauh dari sebelumnya emansipasi wanita telah menjadi perhatian kerajaan. Posisi perempuan dimata masyarakat Buton ketika itu sudah mendapatkan sebuah keistimewahan. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya Wa Kaa Kaa sebagai Raja Buton yang pertama sekitar tahun 1332 M. Wakaka memerintah selama 18 tahun yalni sejak 1332 M sampai dengan 1350 M. Bambu Kuning Pemerintahan pertama tersebut dipilih berdasarkan musyawarah mufakat antara 4 tokoh adat. Wa Kaa Kaa yang merupakan seorang perempuan dipilih karena dianggap memiliki kepribadian dan sifat pemimpin yang layak, katanya.

Nama Wa Kaa Kaa menurut Ali, berarti keluar dari Bambu Kuning. Dalam sejarah hikayat Buton, dikatakan ratu memang lahir dari pohon bambu kuning, tapi ada juga ahli sejarah yang mengatakan nama itu disandang karena saat dilantik menjadi ratu, ia diusung di atas tandu kebesaran yang dibuat dari bambu kuning yang memang banyak tumbuh di sini, katanya.

Situs Pelantikan Wa Kaa Kaa sebagai Ratu Buton yang dilantik pada abad 13 tersebut hingga kini masih ada, yaitu berupa sebuah lubang yang saat diambil sumpah, kaki Ratu dimasukkan ke lubang sambil dipayungi. Prosesi pelantikannya sangat unik. Warga Buton saat itu masih memeluk agama Hindu, sehingga lubang tersebut adalah perlambang dari Yoni, sebuah simbol suci agama Hindu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar